LAKU
JIBUN
Bagiku
tak ada yang lucu hari ini, setelah kepergian penagih uang keamanan siang tadi.
Perasaanku mendadak jatuh, jatuh kepada emosi pikiran. Kenapa aku selemah itu,
dan kenapa mereka selalu datang mengganggu jualanku. Bagi sebagian teman yang sama
berdagang denganku mungkin sudah biasa, tapi batinku masih terus menolak
perbuatan peminta–minta segerombolan preman yang mengaku pribumi tempat kami
berjualan.
“bagaimana
buyung, laris?”
Jibun
mendekatiku. Aku menjawab singkat dengan jawaban sukur. Jibun penjual gorengan
itu baru saja selasai membuka lapak jualannya, setiap sore dia akan selalu
menghampiriku setelah selesai mendirikan tenda lapaknya. Jibun umurnya sudah
kepala empat, tapi semangatnya masih muda, dia satu – satu nya pedagang yang
tidak diganggu oleh gerombolan preman pribumi disini.
“ini
uang sisa jualan kemarin, bagamana keadaan istrimu pak “
“sudah
agak baikan, tadi pagi aku bawa ke puskesmas.”
Kemarin
Jibun pulang tergesa–gesa, meninggalkan sisa dagangannya di lapakku. Sesama
pedagang kaki lima kami harus saling membantu, kadang kalau ada keperluan
mendadak aku juga tidak akan segan menitip daganganku kepada Jibun.
“Istriku
memang sudah ada penyakit asma dari gadis, katanya penyakit turunan. Aneh ya,
ada penyakit turun temurun.”
Jibun
tersenyum, tapi bagiku tidak lucu. Entah mengapa sore itu nafsu tertawaku
hilang, biasanya kami selalu bersenda gurau sesama pedagang.
“Ada
apa denganmu buyung, ayo ceritalah”
Jibun
mendesakku, mungkin dia merasa aneh dengan diriku sore ini. Dia beberapa kali
menggodaku dengan kalimat – kalimat yang biasa membuat kami tertawa lepas, sore
ini tidak berhasil merayuku untuk tertawa.
“tadi
siang ada kelompok baru pak, mereka mengaku pribumi disini”
“kenapa
tidak kau adukan kepada Leman, biar dia yang urus. Mereka itu hanya benalu
kecil”
Aku
memang sudah berniat mengadukan kelompok itu kepada Leman, kepada Leman lah
tempat kami mengadu. Karena dia memungut sewa setiap bulan dari trotoar yang
kami jadikan lapak berjualan ini, dan dia yang bertanggung jawab atas keselamatan
kami dan dagangan.
“Rencananya
sore ini aku mau melihat mereka datang lagi pak, karena pedagang sore lebih
banyak dari pedagang pagi seperti aku. Aku berharap mereka datang, dan melihat
reaksi pedagang sore. Pedagang sore umumnya di isi pedagang senior.”
Jibun
menatapku, sepertinya mengisaratkan sebuah perlawanan. Aku hanya menduga,
semoga memang begitu adanya.
“Kita
lihat saja nanti, apa mereka benar – benar datang” Jibun berbicara setengah
berbisik, dia mengeluarkan sebilah parang dari dalam gerobaknya.
“Ini
yang akan membuat mereka jera, kita lihat saja nanti”
Jibun
kembali meletakkan parang itu ke dalam badan gerobak, pembeli silih berganti
datang. Gorengan Jibun selalu banyak penggemar, bumbunya gurih. Bagiku itu hal
yang wajar saja, pengalaman yang membuat dia jadi telaten mengolah tepung.
“Setoran”
Kami
dikejutkan oleh suara itu, tampak pria dengan rambut panjang yang menghampiriku
siang tadi. Matanya merah, napasnya berbau alkohol. Mataku menatap Jibun,
sambil memonyongkan bibir ke arah pria berambut panjang itu.
“Setoran
apa, aku sudah bayar setoran ke Leman”
Jibun
menantang,
“Itu
setoran bulanan, ini setoran harian untuk pemuda sini”
“Aturan
sejak kapan itu”
“Mulai
hari ini, karena Sibandit sudah keluar dari penjara. Dan setoran harian kembali
diberlakukan”
“Kau
katakan kepada Sibandit, aku Jibun. Tidak mau membayar setoran harian”
“Apa
kau bilang”
Pria
berambut panjang itu mengangkat kerah baju Jibun dan mendorong tubuh Jibun
terhempas ke Trotoar. Jibun berdiri dan membuka pintu di bagian bawah
gerobaknya. Darah dalam dadaku menggelegak, badanku berasa panas dingin. Jibun
mengeluarkan parang yang diperlihatkannya tadi, dia menggenggam dan mengarahkan
parang ke arah pria berambut panjang itu. Pria itu berjalan perlahan ke arah
jibun, pelanggan gorengan Jibun berhamburan lari menjauh.
“Ayo,
kau tusuk perutku. Aku sudah siap, cepat lakukan”
Pia
itu mengarahkan perutnya ke parang Jibun, aku melihat tak ada gemetar
sedikitpun dari tangan jibun. Aku berharap jibun hanya menggertak, tapi hanya
beberapa detik pikiranku lansung sirna. Jibun telah menebas pinggang pria itu
dengan parangnya, dan secepat kilat pria itu menikam perut Jibun dengan pisau.
Aku tak tahu dari mana pisau itu berasal, pria berambut panjang itu menyabut
dan lari dengan pinggang yang sobek terkena parang jibun. Aku gemetar, belum
pernah melihat perkelahian nyata seperti ini sebelumnya. Aku hanya melihat
adegan ini di film dalam televisi. Teman – teman sesama pedagang lansung
berkerumun melihat Jibun yang tergeletak tidak jauh dari gerobak gorengannya.
“Siapapun,
ambil kenderaan. Kita bawa bapak ini ke rumah sakit”
Luki,
pria yang juga terkenal dekat dengan Jibun memberhentikan mobil pengangkut
barang, para pedagang menggotong tubuh Jibun ke atas mobil. Aku duduk memangku
jibun, kepalanya persis berada di paha ku. Darah tak henti – hentinya keluar
dari perutnya. Semoga saja tidak mengenai organ tubuh bagian dalam, aku
berharap.
“Buyung,
kau harus bisa membawa kabar yang baik
kepada keluargaku. Kalau umurku tak panjang, kau harus ceritakan tentang
keberanian ini kepada anakku kelak. Agar dia tidak diam melihat penindasan
dimanapun.”
Mulut
Jibun tebata, sepertinya menahan sakit dari perutnya. Aku hanya mengangguk, tak
ada pikiran lain bagiku. Aku hanya ingin cepat sampai ke rumah sakit dan
memastikan Jibun selamat, karena aku bukan lah tukang cerita yang baik. Aku
tidak akan bisa menyampaikan cerita ini, aku yakin istri Jibun akan terkejut
dan membuat kesehatannya makin memburuk. Sore ini menjadi sore yang merah, sore
yang memberi aku pengalaman yang tak mungkin bisa aku lupakan. Seorang lelaki
tua pemberani, lebih berani dari kami lelaki yang masih muda. Dia mengorbankan
jiwa dan raganya untuk keluarga dan orang – orang terdekatnya, aku tidak
menyangka Jibun seberani ini. Karena selama ini Jibun bagiku hanya pria biasa
yang selalu tertawa ketika aku memberinya lelulon receh.
Mobil
berhenti, aku melihat tulisan ICU. Berbegas mengangkat tubuh Jibun, tidak ada
rasa berat. Aku hanya ingin memastikan Jibun tetap bernapas, dan dia segera
selamat dari musibah yang menimpanya.
Aku
melangkah tak tentu arah, bolak – balik seperti orang yang bingung. Sesekali
melihat dari jendela, memastikan kalau dokter yang menangani Jibun keluar dari
ruang penanganan.
Aku
lansung mencegat dokter di depan pintu, melihat dokter tersenyum terobat
sedikit rasa takut. Setelah dokter memastikan dia tertolong, nyawaku terasa
kembali ke badan. Semangat kembali datang, petugas jaga rumah sakit meminta
untuk menghubungi keluarga Jibun. Kembali aku merasa takut, mata melirik ke
arah Luki. Aku berpikir Luki mungkin lebih baik dari pada aku. Luki tidak
banyak komentar dia hanya melakukan apa yang selalu aku sarankan, aku kembali duduk termenung dan menunggu keluarga
Jibun. Aku berharap istri dan anak –anak Jibun tidak terkejut berlebihan
mendapat kabar ini. Aku percaya Luki adalah orang yang tepat melakukan misi
ini, karena dia orang yang paling dekat dengan keluarga Jibun. Aku percaya,
tuhan akan selalu memberi jalan baik untuk semua orang yang baik.