Duduk
dengan jagung bakar di tangan, rasa manisnya terkadang mengalahkan cairan cabai
yang ikut berpadu. Kenikmatan jagung bakar akan lebih terasa, ketika tersuguh
bersama senja. Melayangkan pandang ke ujung laut, akan tampak matahari sedang
beranjak pulang. Entah kemana, yang jelas itu akan kau temui kalau cuaca sedang
baik. Temaram lampu jalan menambah decak kagum, begitu caraku untuk menikmati
senja di kota Padang. Jembatan Siti Nurbaya, begitu dari dulu tersebut namanya.
Aku tidak terlalu hapal, kapan jembatan ini dibangun. Aku hanya tahu nama Siti Nurbaya
diambil dari judul novel termasyur karya Marah Rusli.
Setiap menghabiskan senja di
jembatan ini, aku akan selalu mengingat banyak kenangan. Juga mengingat teman
sepermainan semasa dahulu, Saipul namanya. Setiap kami duduk disini, setiap itu
pula dia akan salah menamai jembatan ini. Jembatan Siti Nurhaliza katanya,
tidak ada rasa bersalah disetiap rona wajahnya. Pria ini juga menyuruhku untuk
memutilasi data skripsi, agar cepat diwisuda. Seperti daging ingin dimasak,
biar segera matang. Sekarang dia entah dimana, mungkin sudah kaya. Atau sudah
makmur hidupnya, mungkin juga dia sudah lupa dengan jembatan Siti Nurhalizanya.
Bayangan wajah Saipul selalu muncul di aliran sungai batang arau, dari roman
mukanya seperti ada rindu. Mungkin tidak, itu sepertinya perasaanku. Saipul
sudah tidak sempat lagi memberi kabar, kecuali bayangannya. Entahlah,
barangkali Saipul bukan temanku lagi.
Senja ini aku terpaksa meminum teh
dalam kemasan kaca, karena air mineral Bu Engge belum masuk katanya. Masuk ke kulkas
barangkali, pikirku. Bu Engge bukan perempuan asing bagiku, karena masih sama
orang Padang. Orang yang sama-sama merantau ke kota Padang, lebih tepatnya.
Begitu susahnya mencari pribumi, yang ngaku-ngaku banyak. Setidaknya tiga kali
senja akan aku lalui dengannya, dalam satu pekan. Bu Engge akan selalu
bercerita yang sama, seperti yang dia ceritakan ketika senja dua hari yang
lalu. Mungkin dia sudah mulai pikun, atau memang tidak punya banyak bahan
cerita untuk pengunjung yang datang sendiri seperti aku. Bisa jadi ini isyarat
agar aku tidak datang lagi beberapa hari kedepan,berpindah tempat mungkin
maksudnya. Mebawa teman sepertinya lebih tepat, kalau bisa perempuan. Aku
tertawa sendiri oleh lamunanku.
“Biasanya
beramai-ramai bang”
“Siapa,
Bu?”
“Abang
lah, ndak mungkin anak buah kapal itu”
Bu Engge mengarahkan bibirnya ke
sungai batang arau, terlihat disana ada kapal menepi sedang bongkar muat
barang. Sepertinya kapal tambangan ke Pulau Mentawai, Hanya kapal tujuan atau
dari sana yang merapat dengan banyak muatan di dermaga sungai batang arau.
Selebihnya ada biduk, perahu nelayan, ada juga beberapa kapal pesiar tapi tidak
banyak.
“Mereka
kuat-kuat ya Bu.”
“Apanya?”
Bu Engge tertawa, maksudku tidak
melucu. Tapi entah apa yang ada dalam pikirannya ketika aku menyebut kata kuat,
tertawa Bu Engge seperti orang geli. Aku mencoba memahami wanita paruh baya
itu, mungkin bayangannya sampai di ranjang kamar. Karena sudah lama menjanda
mungkin, jadi ketika mendengar lelaki kuat membuat hasrat birahinya bergejolak.
Itu hanya tafsiranku sendiri. Muka Bu Engge terlihat bersemangat, seperti
cerita perjuangan di tempat ini dulunya. Bangunan bersejarah masih kokoh
berdiri sepanjang jalan dibawah jembatan Siti Nurbaya. Bank Indonesia pertama
di sumatera barat masih tersenyum, melihat loji-loji bergandengan. Kalau mereka
berbicara, banyak cerita perjuangan yang akan dituliskan. Orang Padang menyebut
daerah ini dengan nama kota tua, mungkin karena bangunannya. Bisa juga karena
sejarah berdirinya kota itu.
“Lampu
di badan bukit itu kenapa terpisah sendiri Bu?”
“Itu
Lampu kubur Siti Nurbaya”
“Penting
Begitu?”
Bu Engge tidak menjawab
pertanyaanku, dia lanjut saja bercerita tentang Siti Nurbaya. Persis seperti
dalam novel yang aku baca, Bu Engge telaten dalam bercerita. Ratusan lembar
halaman buku, dia ceritakan hanya dalam waktu lebih kurang lima belas menit.
Bagiku memang harus begitu, kalau lama dan bertele-tele pasti akan membuat
bosan. Ini juga salah satu alasanku berlangganan di lapak Bu Engge. Ceritanya
jarang putus, walaupun sedang ramai pelanggan sekalipun. Sesekali Bu Engge
mengusap peluh dengan celemek motif boneka, tokoh celemeknya hampir tidak bisa
dikenal lagi. Arang tempurung lebih mendominasi, mengalahkan tokoh boneka.
Matanya sesekali melirik tukang parkir yang duduk di besi pembatas jembatan
dengan trotoar lapak Bu Engge.
“Cie,
Bu engge”
Wanita itu tersipu malu, dia
menguyupkan bibir bagian bawah. Seperti ada cinta tersuruk dalam hati. Bu Engge
tidak mau bercerita tentang itu, mungkin dia malu. Aku hanya bisa membaca dari
gelagat wajahnya, cahaya matanya seperti tergambar wajah tukang parkir yang
entah siapa namanya. Mereka terlihat serasi sebenarnya, kalau memang cinta itu
saling menyambut. Biarkan saja itu menjadi urusan mereka berdua, dengan tuhan.
Aku tak hanya ingin berlama-lama mengolok-olok Bu Engge, takutnya nanti
semangat berceritanya hilang.
“Jadi
bagaimana dengan kubur Siti Nurbaya tadi Bu?”
“Maksudnya,
Bagaimana apanya”
“Kenapa
harus pakai lampu?”
“Biar
terang”
“Memangnya
dia bisa tahu?”
“Siapa”
“Siti
Nurbaya”
“Wah,
kalau itu Ibu tak tahu”
“Bukan
Ibu, Tapi Siti Nurbaya”
“Aku
Memang bukan Siti Nurbaya”
Kami sama-sama tertawa, ternyata Bu
Engge pintar juga bercanda. Sebenarnya dari dulu aku memang penasaran dengan
kubur Siti Nurbaya ini, aku belum mendapat data yang pasti kalau itu memang
kubur Siti Nurbaya. Novel yang membuat dia terkenal sudah lama beredar, tapi
kuburannya baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Atau jangan-jangan
kuburan itu muncul setelah jembatan ini di bangun. Barangkali ini hanya untuk
mempercantik kota ini saja, untuk membuat kemasan wisata ke kota ini jadi
menarik. Mungkin juga suatu hari nanti akan dibuat festival dengan nama Siti
Nurbaya, dan lahir lagi mungkin kampung Siti Nurbaya. Semoga saja Siti Nurbaya
bahagia melihat penghargaan ini dari alam lain, kalau memang dia pernah hidup
dan ada di tempat ini.
Gelak tawa kami terhenti oleh Cebol,
pria yang menjadi pengaman tempat berdagang di jembatan ini. Sambil
terengah-engah dia membawa kabar kalau malam ini semua pedagang harus segera
menutup lapak mereka. Sepertinya memang sudah ada himbauan beberapa hari yang
lampau tentang penutupan lapak ini, karena dari agenda pariwisata yang aku baca
lusa mulai berlansung beberapa festival
di tempat ini. Aku menengok wajah Bu Engge Pucat pasi, seperti ada ketakutan
yang tiba-tiba datang. Sepertinya ini peringatan terakhir untuk pedagang,
mungkin saja akan ada tindakan yang mengancam keselamatan dagangan mereka oleh
petugas. Tidak terlihat lagi warna bahagia dari wajah Bu Engge, dia bersicepat
mengemasi barang dagangannya. Tidak ada niat menolong yang tampak dari tukang
parkir lapak Bu Engge, mungkin dugaan percintaan mereka salah. Atau mungkin
saja segan mempertontonkan rasa yang ada di hatinya, karena aku masih saja
memperhatikan tingkah mereka. Aku lansung merogoh kantong celana dan membayar
belanjaanku pada Bu Engge. Menaiki sepeda motor, tanpa membayar parkir
tentunya. Dalam perjalanan pulang, aku masih berharap. Setelah kepergianku
tadi, tukang parkir yang selalu dilirik Bu engge juga bersicepat menolong
Wanita itu. Semoga Bu Engge tabah menjalani cobaan hidup dunia ini, sepertinya
seminggu ini aku akan merindukan Bu Engge. Entah itu cerita, tawa atau mungkin
kepolosan wanita paruh baya itu.