Siang
yang mujur bagi Leman,tidak terlalu lama bermandi terik di tepi jalan. Dia
bersicepat menaiki angkutan desa yang penuh sesak berisi karung gabah.
Tampaknya kampung sebelah sedang musim panen, tidak biasanya angkutan desa
bergandeng jalan. Apalagi di siang yang terik seperti ini, angkutan desa sering
lewat setiap satu jam bahkan lebih. Leman tampak berhati-hati dengan map
bawaannya, isi map ini akan menjadi penyambung pendidikan di kota. Baju kameja
andalan Leman tampak basah di bagian ketiak, sebau dengan orang yang
bersempitan dalam angkutan desa.
Perjalanan
terasa lebih jauh, belokan demi belokan menuruni bukit berdebu. Bau minyak rem
angkutan desa menyengat, membuat rasa mual menyesak cepat ke tenggorokan.
Ditambah bunyi dari mulut wanita tua
disamping Leman, mukanya hampir tidak tampak karena menakur ke dalam kantong
plastik. Sepertinya makanan siang di sawah sudah keluar separuh, atau mungkin
sudah semuanya. Wanita tua itu tiada henti meletakkan wajah dalam kantong
plastik itu, sejak Leman memasuki angkutan desa.
“Kiri
pak supir” Leman lansung menghambur dari dalam angkutan desa, tangan kanannya
bersegera mengeluarkan uang recehan dari saku kameja. Tidak berapa detik,
angkutan desa itu berlalu dari hadapan Leman. Dia masuk tergesa ke halaman balai
desa, sampai di teras balai hansip lansung mencegat badan setengah basahnya.
Leman tidak sadar kalau masih tengah hari, seperti biasa pegawai balai desa
sedang istirahat makan siang. Begitu kata hansip yang mencegat kedatangan
Leman.
“Sampai
jam berapa pak?”
“Kalau
kamu sedang mujur sepertinya sampai jam satu, bisa jadi sampai jam dua”
Jawaban
hansip itu membuat Leman lemas bukan kepalang, dia menjatuhkan badan ke kursi
yang ada di teras balai desa. Memegang perut dengan kedua tangan,
mengisyaratkan penyesalan. Karena terburu-buru dari rumah, Leman jadi lupa
makan siang. Tangan kanan merogoh kocek kameja bagian kanan, jari asik
menghitung lembar demi lembar uang yang tersisa. Muka leman tampak setengah
pucat, karena menahan permintaan lambung. Apa mau dikata, kalau uang dalam saku
ini dipakai membeli nasi. Leman takut urusan surat menyurat ini tidak berjalan
lancar, biasanya akan selalu ada ongkos untuk pembuatan surat di balai desa.
Tapi nominalnya tidak berketentuan, kalau sedang mujur bisa hanya membayar uang
fotokopi saja. Tidak ada pilihan lain siang ini, terpaksa perut menunggu urusan
surat ini selesai terlebih dahulu.
Leman
menyulut sebatang rokok, mungkin bisa pengganjal perut pikirnya. Belum habis
setengah batang, tampak dari gerbang Saril dan sepeda motor menuju parkiran
balai desa. Hati Leman sedikit lega, setidaknya ada teman untuk berbincang
sambil menunggu pegawai balai desa bekerja kembali. Seperti dugaannya, Saril
lansung menghampiri. Menarik satu kursi plastik, seperti yang diduduki Leman.
Saril menyapa Leman dengan nada bersahabat, mungkin saja biar kelihatan akrab
oleh hansip yang berdiri mematung didepan pintu balai desa itu.
“sepertinya
tidak ada kata capek ya” ucap Saril setengah berbisik, memonyongkan mulut ke
arah hansip mematung. Saril mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celana
bagian depan, menyulut sebatang rokok dan mengepulkan asap ke langit teras.
Hansip hanya melirik dua pemuda itu, mungkin saja dia mendengar celaan Saril.
Atau hanya sekedar memastikan kalau mereka memang akrab, entahlah. Saril
membuka resleting tas, mengeluarkan map dengan warna yang sama dengan punya
Leman. Perbincangan mereka mulai mengarah kepada tujuan, ternyata mereka
memiliki maksud yang sama.
“Kita
Sama pengemis bantuan” Saril menengok ke wajah Leman. Leman hanya mengangguk,
sambil berpikir. Kenapa Saril juga rela menjadi pengemis, sementara dari yang
tampak dia termasuk dari keluarga yang berada. Pergi kuliah di bekali sepeda
motor, di kota uang belanjanya kelihatan cukup. Memang Leman tidak sering jumpa
Saril kalau di kota, beberapa kali mereka bertemu di rapat himpunan mahasiswa
yang berasal dari desa mereka. Perbincangan mereka usai oleh kedatangan
sekretaris balai desa, dia meminta Saril masuk ke dalam ruangannya. Leman
sedikit terganggu dengan perlakuan demikian, tapi dia mencoba menenangkan diri
sendiri. Matanya melihat hansip yang masih berdiri tegak di samping pintu balai
desa, mungkin dia juga ingin menguatkan hatinya sepeerti pekerjaan hansip itu.
Selang
berapa menit, Saril keluar dari balai desa. Dia berpamitan pada Leman, mungkin
biar kelihatan sangat akrab oleh hansip. Leman lansung bergegas masuk kedalam
Ruang sekretaris Desa, karena bunyi perutnya tidak bisa di ajak kompromi lagi.
Sambil berdiri tidak jauh dari bangku tamu ruang sekretaris desa, Leman
mengucap salam. Matap sekretaris desa tajam memandang Leman, kumisnya hitam
pekat hampir menutupi bibir bagian atas.
“Ada
keperluan apa saudara memasuki ruangan kerja saya” nada sekretaris desa lunak,
tapi matanya menatap keras. Nyali Leman menciut, dia tidak pernah mengurus
surat menyurat sebelumnya ke balai desa. Dengan sisa keberanian Leman
mengutarakan tujuan kedatangannya, tangannya gugup bukan kepalang. Sekretaris
desa tidak melihat pada map di tangan Leman, dia menyuruh Leman kembali ke luar
ruangan dan mengikuti alur pengurusan yang sudah ditetapkan di balai desa.
Kecewa dan rasa lapar dibawa keluar dengan sigap, leman takut nanti sekretaris
desa murka, sehingga celaka akan datang kepada urusannya.
Leman
kembali ke teras dan bertanya tentang alur pengurusan surat keterangan kurang
mampu kepada hansip, hansip tidak bicara, hanya menunjuk ke arah dinding teras.
Langkah dan prasyarat sudah tertulis dengan gamblang, lengkap dengan gambar
orang beserta panah alurnya.
“Berarti
saya masih harus menunggu pegawai lengkap pak” nada bicara Leman sudah layu.
Perut masih riuh tidak karuan bunyinya. Hansip hanya mengangguk, dia tetap
berbisu ketika ditanya Leman. Leman kembali duduk dengan perasaan yang gusar,
entah kepada siapa harus dialamatkan. Mencoba kembali menenagkan diri, Leman
menawarkan sebatang rokok pada hansip. Hansip melirik sekeliling, menengok ke
dalam ruangang. Dia lansung berjalan duduk disamping leman, dengan sigap
mengambil sebatang rokok dan menyulutnya tergesa gesa. Duduk hansip tidak
tenang, matanya liar melihat sekeliling.
“Sudah
lama kerja disini pak” Leman memulai pembicaraan dengan sangat lembut, hansip
hanya mengangguk. Leman masih penasaran dengan Saril yang tidak butuh waktu
lama untuk menyelesaikan urusannya, dia mengulik-ngulik hansip dengan berapa
pertanyaan. Awalnya hansip bersikap tertutup, lama kelamaan Leman berhasil
memancing hansip dengan candaan santai.
“Jadi
kamu tidak akrab dengan anak tadi,” Leman hanya menggeleng meniru gaya hansip.
“hanya
kenal pak, tidak akrab”
“satu
kampus?”
“tidak,
tapi kuliah masih di kota yang sama. Sering bertemu di organisasi mahasiswa
desa ini kalau sedang rapat di kota”
“mengurus
surat yang sama bukan?” kembali Leman hanya mengangguk. Hansip menceritakan
latar keluarga Saril, ternyata dia anak kepala kampung. Itu setara dengan RW
kalau di kota. Tapi kenapa dia juga mengurus surat kurang keterangan kurang
mampu, hansip hanya tertawa mendengar Leman.
“Banyak
orang yang kurang mampu di desa ini, tapi mereka kaya” Leman termenung
mendengar pernyataan hansip, sambil mengisap batang rokok yang entah keberapa
dia berpikir hebat. Mencari makna perkataan hansip, hansip hanya menyela dengan
sindiran mahasiswa sekarang banyak yang tidak belajar kata tersirat.
“Mungkin
saja pria tadi kurang mampu jujur pada dirinya, kalau sebenarnya secara harta
dia mampu untuk membiayai pendidikan.” Setelah perkataan itu hansip bersegera
membuang puntung rokoknya dan kembali mematung di samping pintu balai desa. Dari
gerbang balai desa terlihat sekumpulan orang berbaju seragam berjalan santai
sambil tertawa kecil, berlalu masuk ruangan balai desa. Hansip menggelengkan
kepala diikuti monyong mulut ke dalam ruangan, sepertinya dia memberi isyarat
sudah waktunya Leman masuk dan mengikuti alur yang sudah dia lihat di dinding
balai desa.
Tapi
Leman masih tertegun sambil menghisap sisa rokok yang sudah di bakar, dia masih
terpikir perbincangan dengan hansip tadi. Dia berpikir Saril adalah pria yang
tidak mampu jujur kepada dirinya sendiri, memang banyak orang seperti itu di
desa ini. Ketika banyak bantuan datang, untuk keluarga kurang mampu. Maka
mereka akan datang mengemis dengan baju yang bersih, ada juga ibu-ibu yang
datang dengan perhiasan emas yang mencolok. Mereka akan menghinakan diri mereka
di depan petugas pendataan, lebih hina dari orang yang miskin harta sekalipun.
“sepertinya
mereka itu memang miskin secara nurani,” begitu pikir Leman. Dia membuang
puntung rokok kedalam tong sampah, mulai mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk
menjalankan alur yang tergambar di dinding balai desa. Sepertinya akan banyak
rintangan yang ditemui nanti, beranjak dari meja yang satu ke meja yang lain.
Tapi bagi Leman hanya ini pilihan terbaik untuk memperlancar pendidikan, apapun
resiko yang ditemui harus di nikmati dan dijalani. Langkah leman gontai
berjalan ke dalam ruangan balai desa, harapan masih berada pada kelancaran
urusan surat keterangan kurang mampu. Walaupun sebenarnya dalam hati, Leman
masih belum menemukan jawaban apakah dia orang golongan keluarga mampu, kurang
mampu, atau justru tidak mampu.