Ayah
duduk memunggung padaku, sambil mata kami memandang amak sedang menumbuk di
lesung. Aku pandang pundak ayah, dia memberi lelah. Kulit yang sudah hampir
keriput, sudah mulai lenyai tepatnya. Tanganku beransur memijat pundak ayah,
harus aku senangkan pundak ini. Begitu pikirku. Dari pundak ini, pundi – pundi
uang datang. Untuk menghidupi keluarga kami. Ayah sepertinya menikmati setiap
pijatan tanganku. Sesekali ayah juga mendecis, mungkin aliran darahnya sudah
banyak yang beku. Sambil ayah bercerita tenatang masa kanak-kanakku, amak
senantiasa melempar senyum ke arah kami.
“Dulu
tanganmu belum sekuat ini, tapi dimataku kau masih anak kecil yang harus
dituntun.”
Dituntun
maksud ayah kurang lebih seperti dibina, ayah kadang juga bergumam padaku.
Mungkin dia tidak rela aku tumbuh membesar secepat itu. Pada kulitnya yang
lenyai, membayang kenangan masa aku duduk dipundak itu. Ketika suatu malam
menonton film layar tancap, kalau tidak salah di helat oleh Dinas Keluarga
Berencana. Saking banyaknya penonton yang bersesak, ayah bertahan sekuat
tenaga. Menahan tubuhku yang terbilang tambun dimasa itu, sampai sandal yang
balu dibelinya untuk hari raya putus terinjak kaki orang lain. Sampai sekarang
aku belum bisa mengganti dengan sepasang sendal baru, tapi ada niat untuk
membelikan ayah sendal kulit indian yang ternama itu. Tersebut bagus bagi orang
seusia ayah.
“Berapa
lama lagi sekolahmu dikota?”
Aku
tau, sebenarnya ayah sudah khawatir dengan kuliahku. Karena teman yang sama
berangkat dari kampung dulunya sudah memajang gambar di dinding rumah, gambar
bersama keluarga dengan memakai toga. Atau mungkin saja ayah sedang
menimbang-nimbang uang belanja yang akan datang bulan di muka. Pasalnya
sekarang ekonomi di kampung sedang morat-marit. Harga hasil tani anjlok. Aku
hanya bisa menghibur ayah dengan gambaran terdekat, walaupun sebenarnya aku
juga tidak bisa memastikan kapan akan seperti teman-teman yang sama berangkat
kuliah kekota denganku. Aku berharap ayah mempercayai, semua cerita yang sedang
dalam usahaku sendiri.
“Semoga
kau tidak pulang kosong seperti Leman ya nak.”
Amak
membubuhkan tanya ayah, wajah amak ku pandang tidak sedang senyum atau bahagia.
Seperti rasa yang sama diutarakan, wajah takut lebih terasa kental di mukanya.
Aku tak bisa berjanji, karena akan menambah dosa. Mulutku sudah tidak banyak
berucap, hanya pijatanku yang semakin kencang. Aku merasa terjebak dalam
lingkar mereka, juga tidka menyangka pembicaraan akan sampai kepokok ini.
“Jangan
Jadikan Beban, cukup kau usahakan secepatnya. Semoga kau sudah mengerti dengan
keadaan keluarga, juga memikirkan kelansungan sekolah adik-adikmu.”
Ayah
mengisyaratkan aku masih seperti anak-anak dimatanya. Tak banyak yang bisa aku
jawab, karena jawabanku sudah habis dari tahun kemaren. Sudah berapa janji yang
aku berikan, belum juga terlunasi sampai sekarang. Amak terlihat masih ingin
berbicara, tapi menahan dalam remasan bubuk kopi yang sudah ditumbuk. Sementara
ayah sudah memutar-mutar kepalanya, itu pertanda kalau pundaknya sudah terasa
lega. Dia menyeruput kopi, dan memutar posisi duduk. Tepat dihapanku, aku tidak
biasa di tatap seperti ini. Dari bola mata ayah tampak bayang-bayang diriku
sedang memakai toga. Tidak mungkin aku menangis di depannya, karena aku lelaki.
Pantang memberi tangis kepada orang tua.
“Berusahalah
nak, kesungguhan akan menjadi hasil yang baik”
Kata
penutup yang penuh harap dari pandangan ayah. Dari kecil ayah tidak pernah
memberi target kepadaku, dia selalu memberi harapan. Sepertinya sekarang ayah
sudah mulai bosan dengan gunjingan masyarakat kampung tentang kuliahku, sudah
semakin memekak di telinga. Kata amak banyak kabar yang datang dari kota,
tentang pendidikanku. Ada yang bercerita kalau aku jarang masuk kuliah, dan
lebih kejamnya mereka memberi amak kabar kalau aku sudah tidak tampak lagi di
kampus. Mungkin sudah di pecat dari kampus. Aku tahu kabar itu datang dari
siapa, tapi tak elok rasanya kalau harus memerangi mereka. Aku hanya membantah
amak dengan memberi keyakinan, cukup aku yang tahu tentang diriku. Aku pergi
meinggalkan amak, karena matanya sudah berkaca-kaca. Aku tidak akan tahan
melihat wajah yang seharusnya aku beri tawa, menjadi gundah.
***
Siang
ini, harapan ayah dan amak masih terang dalam ingatanku. Sekarang waktu
terakhir perbaikan skripsiku, karena semua hasil penelitian sudah lengkap
kurasa. Aku berjalan dengan kecemasan yang teramat kental, tidak pernah jantung
berdetak secepat ini. Kuketuk pintu ruangan dosen pembimbing, dan masuk dengan
persaan yang bercampur aduk. Ruangan ini seperti sebuah pengadilan yang akan
memutuskan masa depanku. Dosen pembimbing menurunkan posisi kaca mata, dan
melihat tajam ke wajahku.
“Selesaikan
semua berkas – berkas untuk ujian skripsi”
Mendengar
kata itu, semangat kembali pada badan. Bahu yang tadi berasa dihimpit beban
berat, berangsur pulih. Aku bersicepat menjabat tangan dosen pembimbing dan
berjalan dengan kepala tegap menuju keluar kantor jurusan. Aku menghirup udara
diluar kantor, wangi sekali terasa. Seluruh kenangan pahit yang pernah kudapat
disini, hilang seketika. Segera aku keluarkan telepon genggan dari kantong
celana, menyudut di dinding kantor jurusan.
“Ayah,
aku akan ujian skripsi”
“Semoga
ini kabar yang sebenarnya, tidak seperti tempo hari”
“Ini
yang sebenarnya ayah”
“Kalaupun
tidak benar, aku sudah ikhlas. Memenuhi semua kebutuhanmu, membayar hutang-hutangku.
Kalaupun kamu tidak wisuda, mungkin itu sudah suratan untung diriku.”
Aku
menutup pembicaraan pada telpon genggamku. Tak sadar air mata mengalir di pipi.
Sampai dalam toilet kampus, aku meraung sekerasnya. Entah dosa seperti apa yang
akan malaikat catat untuk diriku. Berasa ingin terbang nyawa di badan,
mendengar ayah yang biasanya memberi semangat. Kini berubah ikhlas, mungkin
juga sudah putus asa. Mungkinkah aku lebih durhaka dari malin kundang, karena
kami sama-sama memberi sakit kepada hati orang tua. Entah maaf seperti apa yang
harus aku antarkan pada ayah, mungkin maaf berupa photo bersama keluarga dihari
pemindahan tali pada topi togaku.