Mata
wanita itu sepi memandang ke muka Leman, sepi serupa malam ini. Biasanya malam
seperti ini, sudah berpeluh di kening wanita itu. Ini malam kamis, harusnya
keramaian sudah memekak. Entah itu di bangku dalam warung, pun di bangku luar
warung. Biasanya para pemilik ladang sudah saling sikut untuk mendapatkan
pekerja, baik pekerja menyiangi ladang atau juga pekerja kasar di ladang.
Sesekali Leman mengetuk meja dengan tiga jarinya, berirama seperti sedang
menabuh gendang. Sambil bernyanyi dalam hati, menghibur diri sendiri, agar
tidak terlalu bingung. Leman jarang sekali bercerita berdua dengan wanita itu,
semenjak beberapa hari setelah pernikahan Leman tidak lagi seromantis biasanya.
Romantis seperti masa mereka berpacaran, Leman selalu saja membahas segala
sesuatu yang bisa mengusir kekosongan.
Wanita paruh baya terlihat sedang
mengupas bawang di meja gerobak warung, dia istri Leman. Dari remang lampu luar
warung terlihat seorang pria tambun, bertubuh hitam. Kumis yang tebal seperti
memantulkan cahaya lampu ke tubuh istri Leman. Mereka tidak terkejut, karena
Bujang memang langganan tetap warung Leman. Seperti biasa Bujang akan
mengangkat ikat pinggang sebelum duduk di bangku warung, mengerutkan pipi
mendekati mata lalu memesan kopi pahit setengah gelas, lebih tepatnya kopi pahit
satu gelas kecil. Tidak butuh waktu lama bagi istri Leman membuatnya. Setelah
itu satu demi satu pelanggan warung berdatangan, berbagai gaya kedatangan
mereka, ada yang datang dengan wajah cengengesan, ada yang tiba dan lansung
menepuk meja. Itu sudah biasa bagi Leman dan istrinya.
Leman akan setia menguping setiap
perbincangan pelanggan, menyigi dan memutuskan di meja mana akan bergabung. Dia
tidak terlalu banyak membantu istrinya, karena hasil dari warung pun tidak
membantu keuangan pribadi. Begitu pikirnya. Leman menarik bangku yang tidak
berapa jauh dari meja Bujang, dia mendengar Bujang sedang butuh banyak pekerja
untuk menyiangi ladang. Kalau sudah perkara menyiangi ladang, tentu Bujang akan
mencari janda – janda untuk dipekerjakan. Biasanya di kampung ini pekerjaan
menyiangi ladang dilakoni oleh janda – janda, baik itu janda tua, kalau sedang mujur
dapat janda muda yang masih kuat tenanganya. Bujang semeja dengan Leba, pria
yang juga tuan tanah, Mereka berdua sama memiliki ladang yang luas.
Mata Leman memandang jauh ke arah
sudut pasar, terlihat sekumpulan wanita sedang berjalan menuju warung Leman.
Perkumpulan seperti itu lazim terjadi di pasar kampung ini ketika malam kamis,
entah sejak kapan tradisi seperti ini terjadi. Tidak butuh lama, salah seorang dari
gerombolan janda itu datang mendekat kemeja mereka. Selebihnya menunggu di los
pasar, wanita itu tanpa segan lansung duduk dengan gaya setengah merayu.
Giginya menggigit bibir bagian bawah, wajah berbedak entah berapa lapis dengan
dandanan menor. Wanita itu mulai menanyakan lowongan pekerjaan, dia menawar
untuk kerja berkelompok. Serikat istilah
orang kampung. Wanita pencari kerja ini biasanya memiliki serikat –serikat,
tidak resmi memang tapi cukup untuk membuat mereka saling membantu antara satu
dan yang lainnya. Semua anggota serikat mereka berisi janda dengan berbagai
latar perceraian. Ada ditinggal mati suami, ada yang meninggalkan suami, ada
juga yang janda karena suami mereka tidak pulang sudah lama.
Bujang memangggil kumpulan wanita di
los pasar, mata Leman tertuju kepada seorang janda muda. Wajah yang belum
dikenal Leman sebelumnya, kenapa wanita ini sampai mencari pekerjaan kasar ke
kampung ini. Ketika Bujang menegosiasikan gaji pada wanita itu, Leman sedang
asik menegosiasikan hati dengan pandangan. Membayang dalam pikiran seandai dia
belum menikah, wanita ini tentu sangat pantas menjadi pendampingnya. Tidak
seperti istrinya sekarang sudah bermuka
kasar, tidak selembut wajah janda itu. Leman memperhatikan penampilan janda itu
dengan serius, mulai dari sandal jepit yang dipakai longgar, sampai kepada
lipstik di bibir yang tidak begitu tebal. Kulitnya kuning lansat, mungkin kalau
serikat mereka jadi bekerja di ladang Bujang, ini akan menjadi pekerjaan kasar
pertama yang dilakoni janda itu. Begitu pikir Leman. Bola mata gadis itu seperti
memancarkan sinar pengharapan, dia sesekali juga melirik ke wajah Leman. Dalam
beberapa pandangan Leman menguyupkan bibirnya. Mengedipkan sebelah mata pada pandangan
janda itu, Leman mendapat balasan serupa. Sepertinya dia juga menggoda Leman.
Semoga saja Bujang, Leba dan istrinya tidak melihat tingkah lakunya. Makin lama
janda itu makin menjadi-jadi, dia meraba dan mengusap-usap tengkuk sambil
menguyupi bibirnya.
“Leman!” suara itu membuat Leman
terperanjat, hampir tumpah kopinya. Dari gelagat istri Leman seperti menaruh
curiga melihat suaminya bermenung sambil menguyupi bibir. Pasalnya dia tahu
betul tabiat Leman kalau sedang berimajinasi kotor, barangkali karna dia juga
sering mendapat hal serupa ketika Leman ingin berhubungan badan.
“Sebelum
matamu berwarna merah dan kerasukan” bisik istri Leman sambil menghampiri. Dia
menunjuk piring dan gelas kotor yang menumpuk dalam ember. Itu bertanda waktu Leman
untuk ikut duduk bersama pelanggan warung sudah usai, dia akan menghabiskan
waktunya di kamar mandi atau di dapur. Habis lah waktunya malam ini untuk tetap
bertahan di suasana pasar janda, pasar malam kamis. Besok dia akan sangat sibuk
bekerja, karena besok hari pekan. Dari pagi sampai malam dia akan bekerja
dengan becaknya, mengangkut gambir berkarung-karung ke pekan, dan juga kerumah
tauke.
Dengan raut wajah muram, Leman
mengangkut ember berisi gelas dan piring kotor. Janda tadi masih menguyupkan
bibirnya di mata Leman, dia tidak mau pergi. Berkukuh tetap di bayangan Leman,
atau mungkin Leman sendiri yang membawa ikut dengan matanya ke sumur. Sampai di
sumur bayangan bibir janda tadi semakin menjadi-jadi, dia pindah dari piring
yang satu ke piring yang lain, dari gelas yang kosong ke gelas bekas ampas
kopi. Leman seperti anak remaja yang sedang di mabuk cinta, mungkin akibat
jarang mendapat “jatah” dari istrinya akhir-akhir ini.
Sambil bersiul-siul kecil wajah
janda tadi sesekali masih hadir, tapi sekarang dia pindah ke langit – langit
dapur. Leman sedang menanti air mendidih untuk dipindahkan ke dalam termos.
Bosan bersiul dia meniup salung api, memastikan kayu tetap bersilang di tungku.
Dengan begitu tidak akan lama menunggu air mendidih, biar cepat pula bisa
mengantar termos ke warung. Barangkali janda tadi belum pergi dari meja Bujang.
“Bruk”
suara itu mengejutkan Leman, terdengar dari belakang dapur. Perasaan leman
bercampur aduk, ada takut juga yang datang. Pasalnya dibelakang pasar, masih
bersemak. Perlahan dia mengambil kursi dan menaiki, matanya menempel di
ventilasi. Persis diatas pintu dapur, bola matanya liar berputar melihat ke
atas, kesamping kiri dan kanan, ke bawah. Dia berpikir jangan – jangan ada jawi
ngamuk lagi, seperti dulu pernah terjadi. Pernah juga dulu celeng menabrak
dinding dapur warung, bangunan warung masih semi permanen. Kaki Leman makin
lama makin bergetar, sekarang pikiran sudah sampai kepada sosok gaib. Entah itu
kuntilanak, pocong, atau mungkin juga setan jenis baru. Kaki semakin menggigil
melihat kain warna putih bergerak pelan. Tidak jauh dari posisi Leman
mengintip, samar bias lampu dapur warung.
Leman
duduk sebentar, mengumpulkan sisa keberanian. Dia mengatup-ngatupkan jari kedua
tangan, pundaknya seperti menelan leher, terlihat seperti orang kediginan.
Perlahan dia kembali berdiri di atas kursi, memasukkan mata perlahan ke rongga
ventilasi, Leman melihat kain putih itu bergoyang tidak teratur. Dari samar
bias lampu terlihat seperti tangan bergenggaman, leman memberanikan diri. Dia
berpikir mendatangani sosok kain itu, turun pelan dari kursi pijakannya. Dia
berjalan setengah tergesa ke samping warung, dia tidak begitu perhatian keadaan
di dalam warung. Yang terlihat hanya Leba duduk di kusi teras warung, Leba sama
sekali tidak menyapa Leman. Sampai di samping rumah, Leman berjalan pelan
sekali. Membungkuk di jalan setapak, semak kiri dan kanan berurai ke badan
jalan. Mata leman tertuju ke kain putih, dia bergerak tidak seperti di tiup
angin. samar – samar terlihat sesosok lelaki berkumis, karena wajah itu
menghadap ke arah bias cahaya lampu dapur warung. Satu lagi terlihat sesosok
wanita yang memunggung ke arah Leman. Lelaki itu terlihat seperti Bujang, tapi
masih samar. Cara membungkuk wanita yang membelakanginya seperti tubuh yang
dikenalinya. Sedang apa mereka, kalau benar itu Bujang dengan istriku, pikir
Leman. Tubuh laki – laki itu terlihat bersandar ke lemari usang, yang sengaja
dibuang Leman ke belakang warung beberapa waktu lalu. Leman kembali melangkah
pelan ke warung, dia ingin memastikan kalau itu bukan istrinya. Kalau persoalan
itu Bujang atau bukan tidak penting bagi Leman, mungkin saja Bujang sedang
bercumbu dengan janda yang dia perhatikan tadi.
Sampai
di warung dia tidak melihat istrinya, dan bertanya pada Leba. Kata Leba
istrinya sedang ke warung ujung membeli gula, Leman lansung berjalan ke warung
ujung dan meninggalkan Leba dengan kebingungan. Tidak lama berselang, Leman
kembali datang dengan wajah terlihat memerah. Sepertinya dia sedang marah, tapi
entah kepada siapa.
“Kenapa
kau “ tanya Leba makin bingung. Leman hanya diam, Leba menceritakan kalau
sepeninggalnya tadi istrinya datang membawa gula pasir. Leman masih tidak
tenang dan berjalan kedapur menghampiri istrinya.
“dari
mana saja kau Tinah” membentak,
“dari
warung Lambiak, beli gula” istrinya terlihat santai, Leman seperti orang
kesurupan membentak istrinya, menanyakan berapa lama, dengan siapa, dan berbuat
apa di belakang warung. Sampai Leman duduk tersandar ke dinding dapur, dia
mengusap muka dengan kedua tangannya. Leman sangat yakin kalau sepasang orang
yang sedang bercumbu di belakang warung tadi adalah istrinya, tapi dia tidak
ada bukti untuk menuduh. Istrinya hanya menjawab tenang seperti memang tidak
terjadi apa – apa, dan mungkin saja memang tidak terjadi apa – apa. Istrinya
berlalu meninggalkan Leman, karena memang bukan kali ini saja Leman menuduh
yang aneh – aneh. Sudah acap kali. Mungkin istri Leman berpikir, suaminya marah
karena di ganggu menikmati pemandagan indah malam tadi. Leman masih duduk
selonjor dengan punggung tersandar ke dinding dapur, bayangan janda malam tadi
tidak lagi datang kepada matanya. Dia menepuk – nepuk pipinya, berharap
kejadian yang dia lihat dibelakang warung tadi benar –benar bukan istrinya.
Penyesalan tidak memergoki lansung datang pada dirinya tiba – tiba, mudah
mudahan saja teman bercumbu pria berkumis tadi salah satu janda yang sedang mencari
pekerjaan di pasar malam ini.