WABAH PERUMAHAN
Badan tersandar ke dinding dengan
napas terengah-engah, punggungnya melekat erat ke samping dinding bagian luar bangunan
toko. Kepala Leman sesekali menyembul ke bidang dinding bagian depan toko,
matanya liar melihat sampai ke perempatan jalan. Ketika berpikir keadaan sudah
mulai aman, Leman terduduk dan mengatur napas. Alis mata terangkat diikuti
mulut yang menganga, tangannya tak lepas dari perut. Berjalan gontai mengikuti
gang samping bangunan toko. Dari kejauhan matahari seperti sudah ingin tercebur
ke dalam laut, awan jingga pucat kesi. Senja ini menjadi kepulangan tercepat
dalam sejarah hidupnya selama berkeliaran di pasar.
Kompleks perumahannya memang tidak
terlalu jauh dari pasar, sekira memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki.
Sampai dihalaman rumah muka Leman tampak pucat, pandangan nanar ke wajah Lena
yang sedang menyapu teras. Dia mencoba bersikap biasa di depan Lena, tapi senja
ini mungkin istrinya tidak bisa dibohongi. Tangkai sapu mengarah lurus ke
wajahnya, mata Lena tajam seperti menyimpan amarah.
“Tak
ada makan malam ini, kau pasti pulang dengan tangan kosong”
Mendengar
ucapan itu, gigil tubuh Leman bertambah-tambah. Mukanya putih pudar, perut
berbunyi dengan nada tidak menentu. Malang sore ini, hasil setoran keamanan
pedagang kaki lima di pasar sudah tidak tersisa. Semua habis di meja judi, Leman
belum kalah sebenarnya. Tapi permainan sekonyong-konyong bubar setelah
terdengar bunyi serupa suara tembakan. Entah itu suara pistol, atau suara yang
lain. Semua pemain berhamburan, begitu juga dengan Leman. Ketakutan membuatnya
lupa dengan uang yang terletak diatas meja, seketika pikiran berubah ingin
berlari menyelamatkan diri. Kalaupun kembali malam ini ke tempat tebanan tadi,
tak mungkin bertemu dengan uang itu lagi. Begitu pikirnya.
“Untuk
sekali ini, maafkan aku Lena” dia mengemis, sambil menyusun kesepuluh jari
kehadapan Lena. Melihat Leman dengan wajah pucat, muncul rasa belas dari Lena.
“Ini
yang terakhir, kalau besok kau ulangi lagi. Tak akan ada ampun dariku”
Leman
mengangguk dan berlalu kedalam rumah, jalannya bergegas menuju dapur. Mujur
sepotong ikan tongkol masih tergolek di kuali, mencampur isi periuk ke dalam
kuali. Leman menyantap seperti kucing kelaparan. Mata Leman melihat sekeliling
sepertinya tidak ada air yang masak, sudah diguncang cerek tapi kosong. Dengan
sangat terpaksa Leman minum air sumur, daripada tercekik.
“Sudah mujur nasi dan lauk masih tersisa,
biasanya aku masak lepas senja seperti ini. Karena kau selalu pulang larut
malam.”
Leman
tidak menantang perkataan Lena, dia memilih mengalah. semakin bersikeras, akan semakin
membuat dirinya tersudut. Memang hari ini tidak membawa uang serimis buta pun.
Leman mengerti betul tabiat Lena, besok dia tidak bisa pergi menukar ke pasar
pagi dekat perumahan. Belanja ke pasar
berlama-lama, sudah menjadi kesenangan Lena semenjak menikah dengan Leman. Mungkin
saja pikiran Lena besok akan menjadi objek gunjingan ibu-ibu perumahan. Pernah
sekali Leman ikut bersama Lena pergi belanja ke pasar pagi, sambil
memperhatikan kebiasaan Lena yang dia anggap buruk. Lena sudah ikut arus
ibu-ibu perumahan, berbahasan panjang lebar. Membicarakan sesuatu yang tidak
pantas mereka pertentangkan di pinggir jalan. Mulai dari gosip artis di siaran
televisi, sampai kepada bahasan kehidupan keluarga orang diperumahan yang tidak
pergi menukar ke pasar. Entah kepuasan apa yang mereka dapat dari pembahasan
semacam itu, tabiat ini sudah menjadi wabah bagi induk beras perumahan ini.
Begitu pikirnya. Dari pada berdebat dengan istri, Leman lebih memilih untuk mencari
angin diluar rumah. Duduk di bawah pohon mangga sambil menyulut sebatang rokok.
“Kenapa kau pulang dengan tangan kosong, apa yang akan
aku bawa menukar ke pasar besok.”
Lena
menghampiri dan menyerang Leman dengan pertanyaan sulit, dalam keadaan seperti
ini susah bagi Leman memberi alasan tepat. Karena takut, Leman tergagap-gagap.
Dia mencoba mengatur napas sambil terus berpikir, mencari dalih yang masuk
akal. Leman teringat dengan kondisi ekonomi saat ini yang morat-marit karena wabah
corona. Sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada pekerjaannya, tapi mungkin
bisa menjadi alasan yang masuk akal untuk istrinya. Leman bercerita tentang
pedangang kaki lima yang sudah banyak gulung tikar, dan ada juga beberapa yang
memilih untuk tidak berjualan, karena pasar lengang. Itu berakibat pada uang
setoran pedagang ikut turun drastis, hanya bisa membeli rokok dan minum kopi
saja. Lena tidak memberi sahutan apapun, dia hanya menatap wajah Leman. Melihat
ronah wajah Lena mengiba, Leman merasa berhasil mengelabui istrinya.
“Kenapa kau pulang lebih awal hari
ini”
Lena
tampak seperti menyimpan kegusaran. Leman melempar senyum ke wajah Lena, sambil
terus berpikir melanjutkan kebohongan. Dia merasa terjebak dengan alasan
sendiri, tapi harus berpikir untuk menyumpal kebohongan.
“ Wabah Corona ini sudah lama
menjangkit, tapi selama ini tidak berpengaruh pada pekerjaanmu. Kenapa baru sekarang?”
Lena
mencerca Leman, sepertinya ketakutan Lena dengan esok pagi semakin nyata. Sama
dengan ketakutan Leman, takut akan dimarahi habis-habisan. Dia membayangkan
harus tidur dengan punggung lagi malam ini, keadaan yang paling ditakuti Leman
sepanjang pernikahan mereka. Padahal Leman sendiri orang yang ditakuti oleh
pedagang di pasar, tapi kenyataan di rumah jauh berbeda. Ketakutan Leman
mengalahkan ketakutan warga dengan keadaan ekonomi yang sedang merosot ulah
wabah corona ini. Bagi Leman, keadaan ekonomi sekarang tidaklah begitu
dipusingkan, justru wabah yang datang dari pasar pagi ke perumahan mereka lebih
mengerikan. Penyakit bergunjing induk bareh perumahan ini. Menjangkit sangat
cepat dari ibu yang satu ke rumah yang lainnya, entah siapa yang membawa wabah
semacam ini ke perumahan. Sekarang sudah menjangkit pula pada Lena, setiap sore
dia akan ikut berkumpul di kedai ujung blok untuk melanjutkan gunjingan yang
belum selesai di pasar.
Suara
Lena mulai membentak, dia seperti orang kerasukan. Esok mungkin akan menjadi
pagi yang mengerikan. Leman kembali tergagap-gagap menjawab pertanyaan Lena,
dengan ketakutan yang tersisa dalam kepala. Dia mencoba maklum dengan rasa
takut Lena yang berlebihan, menjadi orang yang digunjingkan dalam kehidupan perumahan sangat tidak elok. Panas hati akan
muncul sendiri, susah diobati. Ketakutan Leman bercampur aduk, takut dengan
amarah Lena, mungkin juga takut kepada lingkungan perumahan. Rasa sesal sudah
mulai datang menghampiri, kesalahan kecil yang berbuntut pada ketakutan. Silih
berganti pikiran-pikiran sesal datang, kenapa dia harus berbohong. Mungkin
selama ini terlalu memanjakan Lena, pikirnya. Sekarang apa mau dikata, Leman
sudah masuk ke dalam perangkap buatan sendiri. Mau tak mau harus bergegas
mencari penyelesaian. Leman merasa seperti menertawakan diri sendiri, seorang Jagoan
pasar yang sedang dihantui ketakutan.
Leman memutuskan untuk pergi mencari bala
bantuan malam ini, meninggalkan Lena dengan ketakutan yang dia punya. Entah ke pintu
rumah yang mana. Terpenting malam ini harus keluar dulu dari pusaran kebohongan,
mencari ketengan pikiran. Setelah rasa tenang datang, akan dengan mudah
menyusun rencana kedepan. Wajah Lena seketika muncul di mata Labia, seperti
menjadi ketenangan yang sebenarnya. Ketakutan Lena akan menjadi ketakutannya
juga, kesedihan Lena pun terasa sama. Bibir Leman tersenyum, melihat kaca
jendela rumah tentangga mempertontonkan kepanikan wajahnya. Preman pasar yang
sedang dilanda ketakutan, ketakutan isi perut. Mungkin juga karena tidak bisa
memenuhi gaya hidup Lena, istri terkasih.
Leman
tegak dengan tenaga baru, seperti terlahir kembali menjadi seorang preman.
Berjalan tegap, membawa keyakinan dan keberanian. Apapun harus dilalui dengan
sungguh-sungguh, bagaimanapun caranya. Entah itu mencari pinjaman uang, Entah
mencari rumah yang bisa dimasuki diam-diam. Untuk malam ini saja, agar Lena
tidak mempertontonkan tulang pungkur diatas ranjang malam ini.